Jatuh cinta memang indah, seperti yang kebanyakan
orang bilang. Warna merah muda menjuntai indah, memenuhi ruang hati dan
pikiran. Semua hal terasa begitu menyenangkan ketika selalu bersama “dia” yang
membuatmu jatuh, jatuh pada kisah bahagia yang selalu membuatmu menyerahkan
seluruh hati dan pikiranmu hanya untuknya. Mewarnai tiap harimu dengan tawa dan
kasih sayang darinya. Oh Tuhan, Maha Mulia Kau karuniakan cinta. Sesederhana
rona jingga kala senja dan sesejuk sapuan angin kala panas menerpa.
Namun apakah semuanya akan selalu sama? Jawabannya
tentu tidak. Semua hal pasti ada masanya. Merah muda kala jatuh cinta, bisa
saja berubah menjadi gelap dan sesak ketika hati mulai merasakan hal-hal yang
menyebalkan dan berujung pada tangis kesedihan. Tidak adil memang rasanya,
tidak ada orang yang menginginkan kesedihan dalam hidupnya. Tapi apa daya
manusia? Tuhan menciptakan segala sesuatunya seimbang. Kala kebahagiaan datang,
kesedihan juga akan datang untuk melengkapinya.
Pertanyaannya, bagaimana kita melupakan semua hal
merah muda nan menyenangkan itu dengan mudah? Tanpa harus menangis dan kerap
kali marah pada diri sendiri karena merindukan hal-hal yang tidak seharusnya
dirindukan? Ketika otak memaksa untuk menyerah namun hati berkata untuk tetap
tinggal?
“Jika melupakan
sesederhana jatuh cinta,
mungkin
aku sudah melakukannya sejak lama”
Ya, benar. Aku mungkin tidak perlu merasa lelah
karena menangis ketika berusaha melupakannya. Tidak perlu merasa kesal dan
sakit hati ketika menahan rindu padanya, dan aku tidak perlu mencemburui dan
membeci dia yang hadir dan menggantikan posisiku di hatinya. Ya, andai semua
itu sesederhana ketika aku jatuh hati padanya, mungkin aku sudah melupakannya
sejak lama. Meninggalkan semua rona merah muda darinya. Melupakan setiap
kenangan yang kami buat bersama. Menetralkan semua perasaan seperti sebelum
kita berjumpa, dan menghapus rindu yang menggebu di dada. Andai semua
sesederhana itu, akan aku lakukan tanpa harus meneteskan air mata setiap merasakan
sesak ketika mengingatnya.
“Aku
tahu, rindu ini tidak seharusnya untukmu.
Aku
selalu memaksanya untuk hilang,
namun dia
selalu menyelinap masuk ketika malam datang”
Bagiku, merindumu sudah seperti makanan wajib
untukku. Aku merasakannya setiap hari, terlebih ketika malam. Rindu itu datang
tanpa permisi, menyelinap masuk ke relung hati dan mengantarkan air mataku
keluar membasahi pipi. Aku tahu semua itu bodoh, dan aku juga tahu semua itu
tidak berguna. Karena ketika aku merindukanmu dan menangis untukmu, mungkin
saja kau sedang tertawa bahagia bersamanya, ya dia yang menggantikan posisiku.
Tapi, apalah dayaku. Sang pemilik rindu untukmu, namun tidak pernah menjadi
tempat rindumu berlabuh.
Mungkin aku yang salah, karena belum bisa menerima
kenyataan dan masih terus meyakinkan diri bahwa masih ada kesempatan untukku
mengubah warna gelap nan sesak menjadi merah muda yang menyenangkan seperti
dulu. Membawamu kembali bersama, melanjutkan mimpi yang sempat tertunda. Masih
terus memikirkan saat-saat bahagia yang mungkin saja sudah kau lupa. Ah,
bodohnya. Ya, rindu ini terasa begitu bodoh. Mimpi ini terasa begitu memaksa,
dan aku? Merasa menjadi manusia paling kasihan karena masih saja mengharapkan
hal-hal yang mungkin saja sudah jauh dilupakan.
Ya, andai melupakan sesederhana jatuh cinta,
sesederhana warna jingga kala senja, mungkin tidak akan ada kata kecewa, ketika
hati yang merindu tidak kunjung menjadi tempat untuk berlabuh rindu. Dariku,
wanita pemilik rindu untukmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar