Entah berapa kali sudah luka hati ini mengering dan kemudian kembali meradang lagi, disembuhkan untuk kemudian disakiti lagi. Dibahagiakan untuk kemudian dibiarkan merana sendiri. Memikirkannya pun sudah membuatku muak, terbayang sudah bagaimana aku menjalaninya selama ini. Sedih, kesal, muak, benci, sayang, rindu, semua itu ku lalui tanpa memikirkan betapa lelahnya hati menahan sakit karena egoku ini. Menahan perih karena sayatan tajam dari hal bodoh yang selama ini aku lakukan. Cinta yang pada dasarnya adalah karunia Tuhan untuk makhluknya, adalah hal indah yang seharusnya mengindahkan setiap perasaan yang disinggahinya. Tapi ternyata hidup tidak semudah itu, kebahagiaan selalu berjalan beriringan dengan kesedihan. Semua tawa ada masanya berganti tangis, dan setiap masa pasti akan habis. Tak ada yang kekal.
Selama ini mungkin aku sudah sangat dibutakan oleh nafsu dan egoku. Nafsu untuk merasakan bahagia dengan dia yang aku pikir segalanya. Dia yang akan selalu mampu membuatku bahagia, dia yang akan membawaku kedalam bahagia sesungguhnya. Dibutakan oleh ego menggebu untuk dapat memiliki, selalu bersama dan hanya dia. Oh sungguh, betapa menyedihkannya aku, terperdaya ego dan nafsu. Membiarkan jiwa dan raga lara dan terus berkata "Tak apa". Sungguh aku ingin segera mengakhirinya. Mengakhiri rindu yang tiada pernah usai merasuk kalbu, mengakhiri pilu yang selalu hadir ketika kenangan kebahagiaan itu menyelinap ke dalam pikiran.
Kini, lara itu semakin nyata. Bukan lagi karena rindu yang tak kunjung bertemu, bukan lagi tentang rasa sayang yang tak bersambut, tapi pada kehilangan. Aku terlalu faseh untuk merasakan sedih atas kehilangan seseorang yang paling berharga dari hiduku, bahkan dia tak lagi nyata untukku. Aku tak pernah membayangkan dan sekalipun menginginkan itu terjadi padamu, walau ragamu masih nyata ada, tapi hati dan pikiranmu telah memilih untuk meninggalkanku. Mungkin ini teguran Tuhan agar aku berhenti untuk tidak lagi menjadikanmu rumah. Atau mungkin ini puncak muak mu atas semua ulah menyebalkanku, atas semua rindu bodohku, atas semua mimpi semu yang masih saja aku rangkai meski sudah jauh kau lupakan. Sungguh, lara ini semakin lara. Kehilangan ini semakin nyata, dan mungkin mulai saat ini, aku akan belajar untuk mencintai sebuah kehilangan. Membiasakan diri dengan semua kesedihan yang mungkin akan aku rasakan, mendamaikan diri dengan sepi yang akan dia torehkan. Dan bila tidak mengenalku adalah bagian dari bahagiamu, aku akan belajar ikhlas untuk melepaskanmu dan ikhlas untuk mencintai kehilangan yang kau torehkan:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar