Minggu, 28 Februari 2016

Dan ...

Entah berapa kali sudah luka hati ini mengering dan kemudian kembali meradang lagi, disembuhkan untuk kemudian disakiti lagi. Dibahagiakan untuk kemudian dibiarkan merana sendiri. Memikirkannya pun sudah membuatku muak, terbayang sudah bagaimana aku menjalaninya selama ini. Sedih, kesal, muak, benci, sayang, rindu, semua itu ku lalui tanpa memikirkan betapa lelahnya hati menahan sakit karena egoku ini. Menahan perih karena sayatan tajam dari hal bodoh yang selama ini aku lakukan. Cinta yang pada dasarnya adalah karunia Tuhan untuk makhluknya, adalah hal indah yang seharusnya mengindahkan setiap perasaan yang disinggahinya. Tapi ternyata hidup tidak semudah itu, kebahagiaan selalu berjalan beriringan dengan kesedihan. Semua tawa ada masanya berganti tangis, dan setiap masa pasti akan habis. Tak ada yang kekal.
Selama ini mungkin aku sudah sangat dibutakan oleh nafsu dan egoku. Nafsu untuk merasakan bahagia dengan dia yang aku pikir segalanya. Dia yang akan selalu mampu membuatku bahagia, dia yang akan membawaku kedalam bahagia sesungguhnya. Dibutakan oleh ego menggebu untuk dapat memiliki, selalu bersama dan hanya dia. Oh sungguh, betapa menyedihkannya aku, terperdaya ego dan nafsu. Membiarkan jiwa dan raga lara dan terus berkata "Tak apa". Sungguh aku ingin segera mengakhirinya. Mengakhiri rindu yang tiada pernah usai merasuk kalbu, mengakhiri pilu yang selalu hadir ketika kenangan kebahagiaan itu menyelinap ke dalam pikiran.
Kini, lara itu semakin nyata. Bukan lagi karena rindu yang tak kunjung bertemu, bukan lagi tentang rasa sayang yang tak bersambut, tapi pada kehilangan. Aku terlalu faseh untuk merasakan sedih atas kehilangan seseorang yang paling berharga dari hiduku, bahkan dia tak lagi nyata untukku. Aku tak pernah membayangkan dan sekalipun menginginkan itu terjadi padamu, walau ragamu masih nyata ada, tapi hati dan pikiranmu telah memilih untuk meninggalkanku. Mungkin ini teguran Tuhan agar aku berhenti untuk tidak lagi menjadikanmu rumah. Atau mungkin ini puncak muak mu atas semua ulah menyebalkanku, atas semua rindu bodohku, atas semua mimpi semu yang masih saja aku rangkai meski sudah jauh kau lupakan. Sungguh, lara ini semakin lara. Kehilangan ini semakin nyata, dan mungkin mulai saat ini, aku akan belajar untuk mencintai sebuah kehilangan. Membiasakan diri dengan semua kesedihan yang mungkin akan aku rasakan, mendamaikan diri dengan sepi yang akan dia torehkan. Dan bila tidak mengenalku adalah bagian dari bahagiamu, aku akan belajar ikhlas untuk melepaskanmu dan ikhlas untuk mencintai kehilangan yang kau torehkan:)

Sabtu, 27 Februari 2016

Dariku, Wanita Pemilik Rindu Untukmu



Jatuh cinta memang indah, seperti yang kebanyakan orang bilang. Warna merah muda menjuntai indah, memenuhi ruang hati dan pikiran. Semua hal terasa begitu menyenangkan ketika selalu bersama “dia” yang membuatmu jatuh, jatuh pada kisah bahagia yang selalu membuatmu menyerahkan seluruh hati dan pikiranmu hanya untuknya. Mewarnai tiap harimu dengan tawa dan kasih sayang darinya. Oh Tuhan, Maha Mulia Kau karuniakan cinta. Sesederhana rona jingga kala senja dan sesejuk sapuan angin kala panas menerpa.
Namun apakah semuanya akan selalu sama? Jawabannya tentu tidak. Semua hal pasti ada masanya. Merah muda kala jatuh cinta, bisa saja berubah menjadi gelap dan sesak ketika hati mulai merasakan hal-hal yang menyebalkan dan berujung pada tangis kesedihan. Tidak adil memang rasanya, tidak ada orang yang menginginkan kesedihan dalam hidupnya. Tapi apa daya manusia? Tuhan menciptakan segala sesuatunya seimbang. Kala kebahagiaan datang, kesedihan juga akan datang untuk melengkapinya.
Pertanyaannya, bagaimana kita melupakan semua hal merah muda nan menyenangkan itu dengan mudah? Tanpa harus menangis dan kerap kali marah pada diri sendiri karena merindukan hal-hal yang tidak seharusnya dirindukan? Ketika otak memaksa untuk menyerah namun hati berkata untuk tetap tinggal?

“Jika melupakan sesederhana jatuh cinta,
mungkin aku sudah melakukannya sejak lama”

Ya, benar. Aku mungkin tidak perlu merasa lelah karena menangis ketika berusaha melupakannya. Tidak perlu merasa kesal dan sakit hati ketika menahan rindu padanya, dan aku tidak perlu mencemburui dan membeci dia yang hadir dan menggantikan posisiku di hatinya. Ya, andai semua itu sesederhana ketika aku jatuh hati padanya, mungkin aku sudah melupakannya sejak lama. Meninggalkan semua rona merah muda darinya. Melupakan setiap kenangan yang kami buat bersama. Menetralkan semua perasaan seperti sebelum kita berjumpa, dan menghapus rindu yang menggebu di dada. Andai semua sesederhana itu, akan aku lakukan tanpa harus meneteskan air mata setiap merasakan sesak ketika mengingatnya.

“Aku tahu, rindu ini tidak seharusnya untukmu.
Aku selalu memaksanya untuk hilang,
namun dia selalu menyelinap masuk ketika malam datang”

Bagiku, merindumu sudah seperti makanan wajib untukku. Aku merasakannya setiap hari, terlebih ketika malam. Rindu itu datang tanpa permisi, menyelinap masuk ke relung hati dan mengantarkan air mataku keluar membasahi pipi. Aku tahu semua itu bodoh, dan aku juga tahu semua itu tidak berguna. Karena ketika aku merindukanmu dan menangis untukmu, mungkin saja kau sedang tertawa bahagia bersamanya, ya dia yang menggantikan posisiku. Tapi, apalah dayaku. Sang pemilik rindu untukmu, namun tidak pernah menjadi tempat rindumu berlabuh.
Mungkin aku yang salah, karena belum bisa menerima kenyataan dan masih terus meyakinkan diri bahwa masih ada kesempatan untukku mengubah warna gelap nan sesak menjadi merah muda yang menyenangkan seperti dulu. Membawamu kembali bersama, melanjutkan mimpi yang sempat tertunda. Masih terus memikirkan saat-saat bahagia yang mungkin saja sudah kau lupa. Ah, bodohnya. Ya, rindu ini terasa begitu bodoh. Mimpi ini terasa begitu memaksa, dan aku? Merasa menjadi manusia paling kasihan karena masih saja mengharapkan hal-hal yang mungkin saja sudah jauh dilupakan.
Ya, andai melupakan sesederhana jatuh cinta, sesederhana warna jingga kala senja, mungkin tidak akan ada kata kecewa, ketika hati yang merindu tidak kunjung menjadi tempat untuk berlabuh rindu. Dariku, wanita pemilik rindu untukmu.

Salahkah Aku?



Ketika otak mengisyaratkan untuk terpejam, namun mata berusaha tetap terjaga. Ketika mulut berkata pergi, namun hati menahannya untuk tinggal. Dan ketika awan terlihat begitu mendung, namun hujan tak kunjung datang. Apakah semua ini salahku? Bahkan ketika kamu memilih untuk pergi namun aku memilih untuk tetap tinggal. Ketika jemarimu melepaskan jemariku dan menggantikannya dengan jemari orang lain, namun aku masih bisa meyakinkan diri bahwa suatu saat jemari itu akan kembali menggenggam jemariku, apakah semua itu salahku? Aku tidak pernah memilih dan berharap semua ini akan terjadi, dan perpisahan ini? Sungguh bukan merupakan impian atau bagian dari doaku setiap malam. Bukan.
Tidak ada satupun manusia yang menginginkan hidupnya menderita, apalagi karena melepas dia yang dicinta. Merelakan dia berbagi kasih dan sayang dengan orang lain. Membayangkannya saja begitu menyiksa, apalagi ketika sudah jelas-jelas nyata? Oh Tuhan, jika akhirnya memang seperti ini, mampukan aku agar bisa lepas dan menerima semuanya dengan ikhlas.
Berkata memang jauh lebih mudah daripada berbuat. Mudah saja mengucap janji untuk tegar, namun nyatanya tumbang dan berderai air mata. Menyedihkan.
Dan lagi, apa semua itu masih salahku?

“Aku yang masih saja tenggelam dalam rona masa lalu, berbaur dengan semua kebahagiaan semu yang justru selalu berujung kesedihan ketika merindu, akulah yang memang tulus menyayangimu”

Ketulusan memang bukan suatu hal yang bisa dilihat oleh mata, tapi hanya bisa dirasakan oleh hati. Seberapa tulusnya kamu pada seseorang, memang tidak akan pernah bisa dilihat meskipun kamu berusaha meyakinkannya, kecuali dia merasakan dengan hatinya. Aku dan masa lalu bagai sahabat yang senantiasa merindukanmu. Kami selalu bercengkrama setiap malam dan mengirim doa tulus untukmu. Dan lagi, apa semua itu masih salahku?
Aku tidak tahu kenapa semua ini aku lakukan. Aku juga tidak tahu kenapa semua ini masih saja aku rasakan. Jika semua ini beralasan, mungkin aku bisa menghilangkannya dengan mudah. Melangkah tanpa harus merasa berat dan menoleh tanpa harus tertahan. Jika semua ini memang salahku, bantu aku untuk membenarkannya. Jika ini semua ini memang salahku, bantu aku untuk menetralkan semuanya. Semua perasaan bahagia semu yang justru berujung pilu. Aku lelah, bosan dan muak ketika terus merasa rindu namun hati meronta pilu. Dan lagi, salahkah aku?

Halloo ~



Sama kaya judulnya ya, I just want to say “Halloo” for all of you! Thanks for comming! Salam kenal dariku, wanita kertas. Ini bukan blog dengan kumpulan kata-kata mutiara atau motivasi pembangun jiwa yaa. Ini juga bukan blog dari agama tertentu yang akan memaksa kalian untuk mengikuti dan mempercayai suatu hal. Dan aku, aku bukanlah seorang motivator ataupun sastrawan handal. Aku hanya seorang wanita kertas, wanita yang sangat jatuh cinta pada dunia tulis. Seorang wanita yang ingin membisikkan sepenggal kisah hidupnya melalui tulisan-tulisan sederhana, yang dikemas dalam tiap bagiannya.
Bagiku, kertas dan pena adalah sahabat terbaik. Merekalah yang selalu aku andalkan ketika hati merasakan lelah, namun jiwa tak kunjung menyerah. Ketika mata ingin terpejam, namun otak memaksanya terjaga, dan ketika mulut berkata “sudah”, namun hati berkata “tunggu”. Mereka membuatku tak perlu repot-repot memaksa orang lain untuk mendengarkan semua kisahku, memintanya untuk tetap tinggal dan memperhatikanku, ah rasanya sungguh egois.
Melalui tulisan ini, aku hanya ingin kalian mengetahui sepenggal kisahku, menikmati setiap tulisan pada kertas ini, karena memang kalian ingin, tanpa aku harus meminta dan memaksa kalian untuk tetap tinggal.
Aku tidak akan memaksa kalian untuk menyukainya, tapi aku berharap semoga tulisanku ini tidak mengganggu atau menyakiti kalian atau siapapun yang membacanya.
So, singgahlah sejenak, nikmatilah tulisanku :)